An Inconvenient Sequel -Truth to Power- Movie Review
An Inconvenient Sequel -Truth To Power-
Jumat, 25 Agustus 2017
Directed by: Bonni Cohen & Jon Shenk
Ketika film dokumenter An Inconvenient Truth dirilis pada tahun 2006 yang lalu, publik terkejut dengan kenyataan yang ada, meskipun berbagai kabar burung sudah sering kita dengar mengenai climate change, namun belum atau bahkan tidak ada yang memberikan gambaran sampai sedetail itu, film ini sukses besar dan pada puncaknya menjadi buah bibir ketika memenangkan piala Oscar untuk kategori Best Documentary dan Best Achievement in Music Written for Motion Picture, Original Song.
Meskipun tujuan utamanya bukanlah untuk memenangkan sebuah penghargaan, namun tidak bisa disangkal kemenangan di ajang piala Oscar tersebut membuat film ini semakin dikenal dan membuat orang semakin penasaran dengan isinya.
Ketika kita mendengar mengenai climate change, mungkin terdengar simple dan solusinya bisa dicapai dengan mudah, namun ternyata masalah yang ada jauh lebih dalam daripada itu, karena menyangkut kekuatan dan uang yang sangat banyak, ada istilah yang menyebutkan "Siapapun yang menguasai energy akan menguasai dunia", istilah yang diungkap secara gamblang di dalam film ini, karena upaya untuk membuat dunia lebih baik, ternyata harus menghadapi para penguasa dunia dengan akar yang sangat kuat.
Bahkan setelah film pertamanya tayang, banyak yang mencemooh dan berusaha untuk "mencuci" efek dari film ini dengan menyebarkan berbagai hoax dan berita-berita miring, banyak juga yang berusaha untuk menjegal dan membungkam Al Gore, sang mantan presiden Amerika yang menjadi front man dari gerakan Climate Reality Project ini.
Akhirnya setelah 11 tahun berselang dan menggunakan Paris Climate Agreement 2016 sebagai cerita utamanya, An Inconvenient Sequel dengan sangat pas dan mulus dipergunakan oleh Al Gore sebagai kendaraan untuk melawan dan menjawab semua hoax maupun berita miring mengenai pentingnya climate change.
Memang pada dasarnya adalah waktu yang bisa menjawab segalanya, jeda waktu selama 11 tahun ini dipergunakan dengan sangat baik untuk mengumpulkan dokumentasi-dokumentasi mengenai musibah alam terutama banjir maupun badai yang terjadi di belahan-belahan dunia, bahkan salah satu bagian yang menjelaskan kalau penjelasan Al Gore di film pertama mengenai kemungkinan akan terjadi banjir di New York dan merendam kawasan Memorial Park yang sedang dibangun adalah sebuah hiperbola, namun pada kenyataannya ternyata sudah terjadi.
Secara film sendiri An Inconventional Sequel berjalan dengan sangat mulus dan tidak membosankan, narasi yang dibawakan oleh Al Gore adalah kunci kesuksesan film ini, klimaks dan sebuah twist di ending (Bagi yang tidak mengikuti perkembangan dunia mungkin akan menganggap ini sebagai twist) juga cukup mengejutkan. Apakah film ini juga akan membuahkan piala Oscar kembali? Sebuah hal yang sangat mungkin walaupun itu bukanlah tujuan utamanya, diharapkan para penonton yang menyaksikan film ini bisa lebih tergerak dan ikut bergabung dalam perjuangan menyelamatkan bumi melalui The Climate Reality Project Indonesia. (www.theInigo.com)
Jumat, 25 Agustus 2017
Directed by: Bonni Cohen & Jon Shenk
Ketika film dokumenter An Inconvenient Truth dirilis pada tahun 2006 yang lalu, publik terkejut dengan kenyataan yang ada, meskipun berbagai kabar burung sudah sering kita dengar mengenai climate change, namun belum atau bahkan tidak ada yang memberikan gambaran sampai sedetail itu, film ini sukses besar dan pada puncaknya menjadi buah bibir ketika memenangkan piala Oscar untuk kategori Best Documentary dan Best Achievement in Music Written for Motion Picture, Original Song.
Meskipun tujuan utamanya bukanlah untuk memenangkan sebuah penghargaan, namun tidak bisa disangkal kemenangan di ajang piala Oscar tersebut membuat film ini semakin dikenal dan membuat orang semakin penasaran dengan isinya.
Ketika kita mendengar mengenai climate change, mungkin terdengar simple dan solusinya bisa dicapai dengan mudah, namun ternyata masalah yang ada jauh lebih dalam daripada itu, karena menyangkut kekuatan dan uang yang sangat banyak, ada istilah yang menyebutkan "Siapapun yang menguasai energy akan menguasai dunia", istilah yang diungkap secara gamblang di dalam film ini, karena upaya untuk membuat dunia lebih baik, ternyata harus menghadapi para penguasa dunia dengan akar yang sangat kuat.
Bahkan setelah film pertamanya tayang, banyak yang mencemooh dan berusaha untuk "mencuci" efek dari film ini dengan menyebarkan berbagai hoax dan berita-berita miring, banyak juga yang berusaha untuk menjegal dan membungkam Al Gore, sang mantan presiden Amerika yang menjadi front man dari gerakan Climate Reality Project ini.
Akhirnya setelah 11 tahun berselang dan menggunakan Paris Climate Agreement 2016 sebagai cerita utamanya, An Inconvenient Sequel dengan sangat pas dan mulus dipergunakan oleh Al Gore sebagai kendaraan untuk melawan dan menjawab semua hoax maupun berita miring mengenai pentingnya climate change.
Memang pada dasarnya adalah waktu yang bisa menjawab segalanya, jeda waktu selama 11 tahun ini dipergunakan dengan sangat baik untuk mengumpulkan dokumentasi-dokumentasi mengenai musibah alam terutama banjir maupun badai yang terjadi di belahan-belahan dunia, bahkan salah satu bagian yang menjelaskan kalau penjelasan Al Gore di film pertama mengenai kemungkinan akan terjadi banjir di New York dan merendam kawasan Memorial Park yang sedang dibangun adalah sebuah hiperbola, namun pada kenyataannya ternyata sudah terjadi.
Secara film sendiri An Inconventional Sequel berjalan dengan sangat mulus dan tidak membosankan, narasi yang dibawakan oleh Al Gore adalah kunci kesuksesan film ini, klimaks dan sebuah twist di ending (Bagi yang tidak mengikuti perkembangan dunia mungkin akan menganggap ini sebagai twist) juga cukup mengejutkan. Apakah film ini juga akan membuahkan piala Oscar kembali? Sebuah hal yang sangat mungkin walaupun itu bukanlah tujuan utamanya, diharapkan para penonton yang menyaksikan film ini bisa lebih tergerak dan ikut bergabung dalam perjuangan menyelamatkan bumi melalui The Climate Reality Project Indonesia. (www.theInigo.com)
Post a Comment